Penyebab
dari “ banyak konflik dan kekerasan adalah perbedaaan kepentingan dan disfungsi
dari sejumlah institusi sosial, terutama disfungsi dari lembaga pilitik yang
disebabkan lembaga politik tidak menunjang integritas Negara kita.
Kiranya
bagi masyarakat sudah cukup jelas bahwa konflik dan kekerasan sering terjadi
Karena perbedaan kepentingan. Untuk mengatasi konflik dan kekerasan, kita dapat
mencoba dengan usaha-usaha preventif dan usaha-usaha mengelola konflik dan
kekerasan, jika sudah terjadi konflik dan kekerasan.
1.
Usaha-Usaha
Membangun Budaya Kasih Sebelum Terjadi Konflik dan
Banyak konflik dan
kekerasan terjadi karena terdorong oleh kepentingan kelompok. Fanatisme
kelompok sering disebabkan oleh kekurangan pengetahuan (kepicikan) dan merasa
diri terancam oleh kelompok lain. Untuk itu perlu diusahakan :
a. Dialog
dan komunikasi supaya dapat lebih saling memahami kelompok lain. Kita sering
memiliki asumsi-asumsi dan pandangan yang keliru tentang kelompok lain. Kalau
diadakan komunikasi yang jujur dan tulus, segala prasangka buruk dapat diatasi.
b. Kerja
sama atau membentuk jaringan lintas batas untuk memperjuangkan kepentingan umum
yang sebenarnya menjadi opsi bersama. Rasa senasib dan seperjuangkan dapat
lebih akrab kita satu sama lain.
2.
Usaha-Usaha
Membangun Budaya Kasih Sesudah Terjadi Konflik dan Kekerasan
Usaha membangun budaya kasih
sesudah sesudah terjadi konflik dan kekerasan sering disebut “pengelolaan atau
management konflik dan kekerasan”.
Management konflik dan kekerasan
umumnya harus mengikuti tahap-tahap berikut ini :
a. Langkah
Pertama : KOnflik atau kekerasan perlu diceritakan kembali oleh yang menderita.
Kekerasan bukanlah sesuatu yang abstrak atau impersonal melainkan personal,
pribadi, maka perlu dikisahkan kembali. Upaya kita sering kali gagal karena
kita memiliki titik tolak yang salah, yaitu anjuran agar orang melupakan semua
masa lampau. Sikap ini melecehkan dan tidak menghormati para korban dan hal itu
berarti mengingkari nilai manusia itu sendiri. Satu unsur penting dalam tahap
ini adalah bahwa rekonsiliasi menuntut pengakuan kembali kebenaran, karena
“kebenaran memerdekakan” (Yoh 8:32). Hal ini tidak mudah karena pengungkapan
jujur sering dapat dihadapi dengan sungguh akan kembali menghantui kehidupan
masa datang. Menceritakan kebenaran akan sangat membantu proses selanjutnya,
yaitu mengakui kesalahan dan pengampunan.
b. Langkah
kedua: Mengakui kesalahan dan minta maaf serta penyesalan dari pihak atau
kelompok yang melakukan kesalahan atau penyebab konflik kekerasan. Pengakuan
ini harus dilakukan secara public dan terbuka, sebuah pengakuan yang jujur
tanpa mekanisme bela diri. Pengakuan yang jujur harus menghindarkan sikap
memanfaatkan diri atau hanya sekedar ungkapan rasa bersalah melulu, melainkan
sebuah sikap ikhlas menerima diri sendiri dengan segala keterbatasannya.
Termasuk dalam pengakuan salah dan minta maaf ini adalah kesalahan seperti
curiga, pandangan salah, atau prasangka-prasangka terhadap kelompok lain
sebagai akar masalah yang memicu konflik berdarah. Semua beban sejarah yang
membelenggu seseorang atau harus dapat diungkapkan secara transparan. Dengan
cara itu, kita dapat dibebaskan dan antara kita terjailah sebuah kiasah baru.
Tindakan meminta maaf adalah
tindakan dua pihak dalam gerka menuju rekonsiliasi. Dalam pengakuan kesalahan,
orang mengalami keterbatasannya. Pengalaman keterbatasan membuka kemungkinan
bagi manusia untuk berharap dan menantikan petunjuk dan jalan keluar yang
diberikan oleh pihak ketiga, pihak luar.
c. Langkah
ketiga: Pengampunan oleh korban kepada yang melakukan kekerasan. Kata
pengampuanan dan rekonsiliasi akhir-akhir ini sering disalahtafsirkan.
Mengampuni berarti melupakan atau jangan lagi mengungkit kesalahan masa lampau.
Padahal justru sebaliknya: “ingatlah dan ampunilah”. Dalam rekonsiliasi itu,
kita harus tahu apa yang harus kita ampuni dan siapa yang harus mendapat
pengampunan.
Pengampunan adalah akibat logis
dari tahap pertama dan kedua, yaitu sesudah kebenaran disingkapkan. Dan yang
berhak memberi pengampunan adalah para korban kekerasan. Pengampunan berarti
meninggalkan balas dendam terhadap pelaku kekerasan, membiarkan pergi dari
segala beban dendam lawan pelaku. Pengampunan berkuasa menyembuhkan hubungan
antarmanusia.
Pengampunan adalah mukjizat. Jika
itu terjadi, maka hadirlah rekonsiliasi. Daya ampun berasal dari Allah dan
pengampunan memberi ampun bertumbuh dari iman. Dalam pengampunan kita menolak
dosa, tetapi tidak menolak pendosa. Mengampuni berarti berpartisipasi dalam
sifat Allah sendiri (2 KOr 5:17-19).
d. Langkah
keempat: Rekonsiliasi. Gereja juga menyadari bahwa tidak ada jalan pintas
menuju rekonsiliasi. Martabat para korban kekerasan, misalnya, tidak dapat
dipulihkan hanya dengan sebuah permohonan maaf saja. Perdamaian murahan tidak
akan tahan lama. Gereja juga sadar bahwa rekonsiliasi itu mahal. Para pelaku kejahatan butuh waktu unuk menerima diri
sendiri dan para korban juga butuh waktu untuk menerima diri sendiri dan para
korban juga butuh waktu untuk merangkul pelaku kejahatan dengan rasa
kemanusiaan. Keadilan transformative perlu diberi waktu dan kesempatan .
Rekonsiliasi
adalah pembaharuan.
Masa ini adalah saat berjuang agar
para korban tidak menjadi pelaku kekerasan karena balas dendam. Menolak
pengampunan berarti membelenggu diri di dalam masa lampau dan kita kehilangan
diri sendiri. Martabat para korban ingin dipulihkan, namun tidak boleh
tenggelam pada peristiwa masa lampau. Ada
banyak warta, cerita Kitab Suci, menganai damai dan rekonsiliasi. Allah
melakukan rekonsiliasi dengan manusia lewat sengsara dan kematian putraNya,
Yesus Kristus. Maka cerita Yesus menyembuhkan dan cerita kita bermakna.