KONFLIK DAN KEKERASAN DI TANAH
AIR
Masyarakat Indonesia sangat mejemuk secara
budaya, etnis dan agama. Kemajemukan ini dapat membawa konflik dan kekerasan.
Konflik dan kekerasan banyak terjadi pada akhir abad XX dan pada awal abad XXI
ini.Konflik mengakibatkan kerusuhan yang meningkat ke bentuk-bentuk kekerasan
seperti: penjarahan, perkosaan, dan penghancuran atau pembakaran harta milik
orang lain. Orang Indonesia
yang pernah terkenal sebagai insane yang ramah, namun kini mudah sekali
bertikai dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan pmbunuhan.
Kekerasan yang sedang berlangsung
di negeri kita menunjukan rupa-rupa dimensi dan rupa-rupa wajah.
1. Rupa-Rupa Dimensi
Kekerasan
a. Kekerasan Psikologis
Kita tidak boleh terbelenggu untuk
mengerti kekerasan hanya dari segi fisik. Ada
banyak kekerasan psikologis pada manusia. Tidak hanya pemukulan, cidera, dan
pembunuhan yang menimbulkan penderita somatik manusia, melainkan juga kekerasan
psikologis seperti kebohongan sistematis, indoktrinasi, terror-teror belaka,
ancaman-ancaman langsung atau tidak langsung yang melahirkan ketakutan dan rasa
tidak aman.
b.Kekerasan Lewat Imbalan
Seseorang dipengaruhi dengan
memberikan imbalan. Orang yang mendapatkan imbalan mengalami kenikmatan atau
euphoria. Akibatnya, orang tersebut tidak dapat vocal lagi, tidak boleh
berbicara kritis. Taruhan mahal dimensi ini adalah kebebasan manusia. Ia
terpaksa menjadi jinak. Ini juga satu bentuk kekerasan.
c.Kekerasan Tidak Langsung
Contoh kekerasan tidak langsung
adalah melempar batu ke rumah orang dan uji coba bom/nuklir. Dalam prstiwa ini,
tetap ada kekerasan fisik dan psikologis. Meski kelihatannya tidak makan
korban, namun hal itu tetap membatasi tindakan manusia dan membawa ketakutan.
Dalam dua aksi ini kelihatannya tidak ada objek langsung manusia, namun
dampaknya luas bagi manusia secara fisik dan psikologis.
d. Kekerasan Tersamar
Suatu kekerasan disebut kekerasan
biasanya jika ada pelakunya. Jika tidak ada pelaku, kekerasan itu disebut
kekerasan tersamar atau kekerasan structural. Dalam kekerasan biasa, kita mudah
melacak pelakunya sedangkan dalam kekerasan structural sulit ditemukan
pelakunya. Hal ini sering juga dikenal dengan istilah “black power”. Kondisi
kekerasan structural yang kita temukan sering juga digelar sebagai “
ketidakadilan sosial”.
a.Kekerasan yang tidak Disengaja
Kekerasan
itu sengaja atau tidak disengaja, tetap sebuah kekerasan bagi si korban. Karena
itu, dari segi “korban”, misalnya mati atau cacat, maka kekerasan yang hanya
dimengerti dari tolok ukur sengaja terlalu sempit dan melanggar rasa keadilan.
Kekerasan yang tidak sengaja sering dihubungkan dengan kekerasan structural.
b.Kekerasan Tersembunyi (Laten)
Kekerasan
yang tempak, baik langsung maupun tidak langsung, mudah disimak dengan kasat
mata. Namun, kekerasan yang tersembunyi dapat saja sewaktu-waktu meledak atau
menunggu “bom waktu”. Contoh kekerasan dan kekejaman yang laten adalah
sistem-sistem yang mengendalikan dan membelenggu kehidupan banyak orang seperti
feodalisme, fundamentalisme, dan fanatisme.
2. Wajah-Wajah Kekerasan
Enam dimensi diatas ini dapat kita
baca dalam skala frekuensi yang makin meningkat di Indonesia . Wajah-wajah kekerasan
ini ternyata tidak hanya ditemukan di wilayah yang masuk dalam kategori “high
conflict area” seperti aceh, Papua, Maluku, poso, dan ambon, melainkan juga
ditemukan di wilayah-wilayah yang dikenal sebagai “ non conflict area” seperti
Lampung. Kita sadara bahwa wilayah yang bebas konflik sangat terbatas dan agak
sulit ditemukan. Konflik dan kekerasan benar-benar konteks riil di negeri kita.
a.
Kekerasan
Sosial
Kekerasan
sosial adalah situasi diskrimatif yang mengucilkan sekelompok orang agar tanah
atau harta milik mereka dapat dijarah dengan alasan “ Pembangunan Negara”.
Payung pembangunan seperti sebuah tujuan yang boleh menghalalkan segala cara. Ada kelompok orang wilayah
tertentu yang sepertinya tanpa mengusung mengusung “stigma” dari penguasa.
Stigmasasi yang biasanya berlanjut dengan “marginalisasi” dan berujung pada
“viktimasi”. Mereka yang mengusung “stigma” tertentu sepertinya layak
ditertibkan, dibunuh, atau diperlakukan tidak manusiawi.
b.
Kekerasan
Kultural
Kekerasan
cultural terjadi ketika ada pelecehan, penghancuran nilai-nilai budaya
minoritas demi hegemoni penguasa. Kekerasan cultural sangat mengandaikan
“stereotyp” dan “prasangka-prasangka cultural”. Dalam konteks ini, keseragaman
dipaksakan, perbedaan harus dimusuhi, dan dilihat sebagai momok. Apa yang
menjadi milik kebudayaan daerah tertentu dijadikan budaya nasional tanpa sebuah
proses yang demokratis, dan budaya daerah lainnya dilecehkan.
c.
Kekerasan
Etnis
Kekerasan
Etnis berupa pengusiran atau pembersihan sebuah etnis karena ada ketakutan
menjadi bahaya atau ancaman kelompok tertentu. Suku tertentu dianggap tidak
layak bahkan mencemari wilayah tertentu dengan berbagai alasan. Suku yang tidak
disenangi harus hengkang dari tempat diam yang sudah menjadi miliknya
bertahun-tahundan turun temurun.
d.
Kekerasan
keagamaan
Kekerasan
keagamaan terjadi ketika ada “fanatisme, fundamentalisme, dan eksklusiveme”
yang melihat agama lain sebagai musuh. Kekerasan atas nama agama ini umumnya
dipicu oleh pandangan agama yang sempit atau absolute. Menganiaya atau membunuh
penganut agama lain dianggap sebagai sebuah tugas luhur. Kekerasan atas nama
agama sering berpijak pada gendering perang: “Allah harus dibela oleh manusia”.
e.
Kekerasan
Gender
kekerasan
Gender adalah situasi di mana hak-hak perempuan dilecehkan. Budaya patriarkhi
dihayati sebagai peluang untuk tidak atau kurang memperhitungkan peranan
perempuan. Kultur pria atau buadaya maskulin sangat dominant dan kebangkitan
wanita dianggap aneh dan mengada-ada. Perkosaan terhadap hak perempuan
dilakukan secara terpola dan sistematis.
f.
Kekerasan
Politik
Kekerasan
Politik adalah kekerasan yang terjadi dengan paradigma “politik adalah
panglima”. Demokratisasi adalah sebuah proses seperti yang didektekan oleh
penguasa. Ada
ekonomi, menajemen, dan agama versi penguasa. Karena politik adalah panglima,
maka paradigma politik harus diamankan lewat pendekatan keamanan. Semua yang
berbicara vocal dan kritis harus dibungkam dengan segala cara termasuk dengan
cara isolasi atau penjara. Tidak ada partai oposisi dan kalau ada partai itu
tidak lebih hanya sebagai boneka. Delam konteks ini, “single majority” adalah
sesuatu yang ideal, indokrinasi adalah sarana ampuh yang harus dilestarikan,
sistem monopartai adalah kehendak Tuhan.
g.
Kekerasan
Militer
Kekerasan
Militer berdampingan dengan kekerasan politik. Kekerasan terjadi karena
militerisasi semua bidang kehidupan masyarakat. Cara pandang dan tata nilai
militer merusak sistem sosial masyarakat. Dalam jenis kekerasan ini terjadi
banyak sekali hal-hal seperti : pembredelan pers, larangan berkumpul, dan
litsus sistematis. Pendekatan keamanan (security approach) sering diterapkan.
h.
Kekerasan
terhadap Anak-Anak
Anak-anak
dibawah umur dipaksa bekerja dengan jaminan yang sangat rendah sebagai pekerja
rumah. Prostitusi anak-anak tidak ditanggapi aneh karena dilihat sebagai sumber
nafkah bagi keluarga. Dalam pendidikan, misalnya, masih merajalela idelogi-ideologi
pendidikan yang fanatic. Konservatisme pendidikan dan fundamentalisme
pendidikan tidak dicermati dan tidak dihindari sehingga anak tumbuh dan
berkembang secara tidak sehat.
i.
Kekerasan
Ekonomi
Kekerasan
ekonomi paling nyata ketika masyarakat yang sudah tidak berdaya secara ekonomis
diperlakukan secara tidak manusiawi. Ekonomi pasar bebas dan bukannya pasar
adil telah membawa kesengsaraan bagi rakyat miskin.
j.
Kekerasan
Lingkungan Hidup
Sebuah
sikap dan tindakan yang melihat dunia dengan sebuah tafsiran eksploitatif. Bumi
manusia tidak dilihat secara akrab dan demi kehidupan manusia itu sendiri.
3.
Akar dari Konflik dan Kekerasan
Analisis “teori konflik” menemukan alasan
kekerasan pada berbagai bentuk “perbedaan kepentingan” kelompok-kelompok
masyarakat sehingga kelompok yang satu ingin menguasai bahkan mencaplok
kelompok lainnya. Analisis “fungsionalisme structural” berpendapat bahwa hampir
semua kerusuhan berdarah di Indonesia
disebabkan oleh disfungsi sejumlah institusi sosial, terutama lembaga politik.
Dalam hal ini Negara gagal menerapkan sebuah politik yang menunjang integritas Indonesia
sebagai satu bangsa.
Fenomena
seperti pecahnya otoritas pemerintah, buyarnya otoritas Negara, semakin
intensifnya konfliks etnis dan agama, pengungsi yang berjumlah puluhan juta dan
pembasmian etnis tertentu merupakan gejala-gejala yang mengancam integtitas
bangsa. Mungkin kesalahan yang paling
besar yang dibuat pemerintah Indonesia
sejak awal adalah menerima kesatuan Indonesia itu sebagai “taken for granted”
sebagai barang yang sudah jadi. Padahal, kesatuan itu tidak dapat diolah secara
paksa tetapi harus dibangun dengan bersama-sama.
Kebijakan
politis yang sentralis dimana pemerintah sangat dominant dan sering menyamankan
dirinya dengan Negara, pola relasi “pusat-pinggiran” dalam segala nuassanya
boleh dianggap sebagai akar konflik berdarah seperti di Aceh, Paapua, dan
Sampit. Pusat menghendaki sentralisasi sedangkan daerah menuntut sebuah
otonomi. Karena itu ada DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh dan penempatan
banyak tentara di Irian jaya.
Yesus bukan saja mengajak kita untuk tidak
menggunakan kekerasan menghadapi musuh-musuh, tetapi juga untuk mencintai
musuh-musuh dengan tulus. Yesus mengajak kita untuk mengemnagkan budaya kasih
dengan mencintai sesama, bahkan mencintai musuh (Luk 6 : 27 – 36).
Pesan Yesus untuk kita ini memang sangat radikal
dan bertolak belakang dengan kebiasaan, kebudayaan, dan keyakinan gigi ganti
gigi yang kini sedang berlaku. Kasih yang berdimensi keagamaan sungguh-sungguh
melampaui kasih manusiawi. Kasih Kristiani tidak terbatas lingkungan keluarga
karena hubungan darah; tidak terbatas pada lingkungan kekerabatan atau suku;
tidak terbatas pada lingkungan daerah atau ideology atau agama. Kasih Kristiani
menjangkau semua orang, sampai kepada musuh-musuh kita.
Dasar kasih Kristiani adalah keyakinan dan
kepercayaan bahwa semua orang adalah putra dan putrid Bapa kita yang sama di
surga. Dengan menghayati cinta yang demikian. Kita meniru cinta Bapa di surga,
yang memberi terang matahari dan curah hujan kepada semua orang (baik orang
baik maupun orang jahat).
Mengembangkan budaya kasih untuk melawan budaya
kekerasan memang tidak mudah. Dalam kehidupan sehari-hari, kita merasa betapa
sulitnya untuk berbuat baik dan mencintai orang yang membuat kita sakit hati.