1.
Pelanggaran
Hak Asasi di Indonesia
Pelanggaran hak asasi manusia di
Indonesia sudah berlangsung lama, yakni sejak zaman feudal, kemudian zaman
colonial Belanda dan pendudukan Jepang, dan masih disambung dengan zaman
demokrasi terpimpin dan Orde Baru.
Pelanggaran-pelanggaran HAM selama
rezim Orde Baru tentu masih terpaterai dalam ingatan kita. Ingat saja pada
peristiwa tahun 1965, dimana ribuaan (mungkin Jutaan) orang dieksekusi dengan
hukuman mati atau dibuang ke pulau Buru tanpa suatu
proses peradilan. Peristiwa Lampung, Tanjung Priok, Santa Cruz dan yang terakhir peristiwa
kerusuhan mei 1998, peristiwa Trisakti dan Semanggi.
Masih ada seribu satu macam
peristiwa dan kasus seperti kasus orang hilang, kasus penahanan tanpa prosedur,
kasus penggusuran terhadap rakyat kecil yang tak berkeprikemanusiaan, dsb.
Kita melihat bagaimana hak orang
untuk mengeluarkan pendapat, untuk berdemonstrasi, untuk berpolitik, bahkan
untuk tinggal dan hidup dilanggar.
Yang paling menderita dan tak berdaya
ialah orang-orang miskin (rakyat jelata) dan kaum perempuan (serta anak-anak).
2.
Pelanggaran
Hak Asasi terhadap Kaum Miskin
Kata “miskin” biasanya diartikan
dalam pengertian ekonomis, yaitu orang yang hidup tidak layak dalam hal
sandang, pangan, dan papan. Namun, kata “miskin” mempunyai arti yang lebih
luas, bukan hanya dalam hal memenuhi kebutuhan dasar saja. Kata “miskin” juga
mencakup ketiadaan hak dalam partisipasi pengambilan keputusan politik, kasus
orang yang teramcam hidupnya, terbelenggu kebebasannya untuk bersuara,
berpendapat dan berserikat, serta orang yang tidak mendapatkan tempat dalam
masyarakat. Kaum miskin adalah mereka yang tidak mendapatkan tempat dalam
masyarakat. Kaum miskin adalah mereka yang menerima tindakan ketidakadilan.
Orang-orang miskin di desa-desa
adalah para petani, khususnya petani garapan, para nelayan, perajin, dan
penganggur. Orang-orang miskin dikota-kota adalah para buruh. Selain para
buruh, perlu disebut juga para pemulung, gelandangan, pelacur, pelacur, preman,
pedagang kaki lima, penjual surat kabar, anak jalanan, dan pembantu rumah
tangga. Mereka adalah kelompok-kelompok yang saling miskin secara ekomonis,
tetapi juga secara politis. Mereka hampir tidak mempunyai hak. Mereka tidak
dilindungi oleh sistem hukum di daerah didaerah perkotaan. Kebanyakan dari
mereka adalah migrant musiman atau migrant tetap dari desa-desa.
Kelompok-kelompok yang bekerja pada sector informal dan penganggur inilah yang
keadaannya lemah dan tidak mempunyai kepastian dan harapan akan masa depan
serta tidak dilindungi oleh hukum. Mereka setiap saat dapat diperlakukan
semena-mena oleh berbagai pihak mulai dari aparat pemerintah hingga sesama
migrant. Mereka tidak dapat membela kepentingannya karena sarana kesejahteraan
sosial dan hukum yang masih sangat kurang pandai.
3.
Pelanggaran
Hak Asasi terhadap Kaum Perempuan
Perendahan martabat kaum perempuan
sudah berlangsung lama, mungkin sejak sejarah awal umat manusia. Kaum perempuan
senantiasa diposisikan lebih rendah.
Posisi lebih rendah (subordinate) inilah yang menjadi sumber
perlakuan tidak adil terhadap perempuan, karena posisi ini mengkondisikan
ketidakberdayaan perempuan. Pranata sosial yang berdasarkan pada pandangan
relasi timpang ini akan menciptakan berbagai macam diskriminasi yang akhirnya
muncul dalam berbagai bentuk ketidakadilan gender.
Bentuk-bentuk ketidakadilan
terhadap perempuan dapat disebut antara lain:
o Kaum
perempuan kurang mendapat tempat dan peran dilembaga-lembaga Negara, seperti
lembaga eksekutif dan legeslatif.
o Diskriminasi
undang-undang atau perempuan terhadap perempuan, lebih-lebih
diperusahaan-pereusahaan. Misalnya, gaji atau upah bagi perempuan sering lebih
lendah dibanding dengan laki-laki, walaupun perejaannya sama.
o Wanita
karier sering harus bekerja rangkap, di tempat kerja dan di rumah.
o Perempuan
sering dijadikan sumber devisa sebagai TKW, tetapi sering tanpa perlindungan
hukum.
o Perempuan
(dan anak-anak) sering diperdagangkan dan dijadikan wanita penghibur/pelacur.
Salah satu bentuk pelanggaran yang
mengerikan adalah kekerasan terhadap kaum perempuan. Ada macam-macam kekerasan dimana korban
mengalami tekanan baik jasmani maupun rohaninya. Wilayah terjadinya dapat dalam
diri perempuan itu sendiri, dalam keluarga, dalam lembaga kerja, dalam Gereja,
dalam masyarakat, dan dalam Negara.
Kekerasan terhadap kaum perempuan
tidak dapat dipandang hanya sebagai tindak criminal yang dilakukan oleh
sekelompok penjahat atau orang yang sakit mental. Mengenai pemerkosaan,
misalnya, beberapa penelitian di Manca Negara maupun di Tanah Air (di Indonesia
dibuat antara lain oleh Kalyabanitra) menunjukkan bahwa tindakan kekerasan ini
justru dilakukan oleh orang-orang normal yang dikenal baik oleh korban; ayah,
suami, teman, sanak saudara, rekan kerja, pemimpin perusahaan. Indonesia
memang masih termasuk Negara yang hak asasi warganya belum terlalu terjamin.
4.
Sebab
Terdalam Terjadinya Pelanggaran HAM
terjadinya ketidakadilan dan
pelanggaran HAM sering disebabkan oleh struktur kemasyarakatan yang diciptakan
oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan dan uang. Mayoritas bangsa Indonesia
berada dalam keadaan terjepit dan menjadi bulan-bulanan kaum penguasa dan kaum
kaya. Sistem sosial, politik dan ekonomi yang disusun penguasa dan pengusaha
menciptakan ketergantungan rakyat jelata kepadanya, sehingga mereka dapat
bertindak sewenang-wenang.
Disamping itu, pembangunan
ekonomi, sosial, dan politik dunia dewasa ini belum menciptakan kesempatan yang
luas bagi “orang-orang kecil”, melaikan justru mempersempit ruang gerak
“orang-orang kecil” untuk mengungkapkan jati dirinya secara penuh. Kita dapat
melihatnya dalam lingkup yang besar didalam percaturan Negara dan kita dapat
mengalaminya didalam lingkup yang kecil dilingkungan kita sendiri. Orang-orang
kecil tetap saja menjadi orang yang tersisih dan menderita.
Ketidakadilan dan pelanggaran HAM
terhadap perempuan disebabkan oleh struktur dan sistem kemasyarakatan yang
tidak adil, yang telah diciptakan oleh kaum laki-laki. Laki-laki telah
menciptakan masyarakat patriarkhi. Budaya patriarkhi mengajarkan bahwa garis
keturunan anak ditentukan oleh garis dari ayah, maka semua pranata sosial
tentang kehidupan dilatarbelakangi oleh pandangan patriarkhi. Ayah menjadi
penentu keturunan, maka dalam proses kehidupan kaum laki-laki menjadi sebuah
sistem yang kuat dan dianggap benar. Kekuasaan ini dibangun diatas dasar pandangan pasangan (biner)
laki-laki dan busordinat bagi perempuan.
Singkat kata : struktur dan sistem
politik, ekonomi, dan budaya masyarakat yang diciptakan oleh kaum penguasa dan
kaum kaya menjadi sebab dari segala ketidakadilan dan pelanggaran HAM yang
dialami kebanyakan rakyat kecil.