Wednesday, August 21, 2013

MENGEMBANGKAN BUDAYA NON VIOLENCE DAN BUDAYA KASIH

      Penyebab dari “ banyak konflik dan kekerasan adalah perbedaaan kepentingan dan disfungsi dari sejumlah institusi sosial, terutama disfungsi dari lembaga pilitik yang disebabkan lembaga politik tidak menunjang integritas Negara kita.
      Kiranya bagi masyarakat sudah cukup jelas bahwa konflik dan kekerasan sering terjadi Karena perbedaan kepentingan. Untuk mengatasi konflik dan kekerasan, kita dapat mencoba dengan usaha-usaha preventif dan usaha-usaha mengelola konflik dan kekerasan, jika sudah terjadi konflik dan kekerasan.

1.      Usaha-Usaha Membangun Budaya Kasih Sebelum Terjadi Konflik dan
Banyak konflik dan kekerasan terjadi karena terdorong oleh kepentingan kelompok. Fanatisme kelompok sering disebabkan oleh kekurangan pengetahuan (kepicikan) dan merasa diri terancam oleh kelompok lain. Untuk itu perlu diusahakan :
a.       Dialog dan komunikasi supaya dapat lebih saling memahami kelompok lain. Kita sering memiliki asumsi-asumsi dan pandangan yang keliru tentang kelompok lain. Kalau diadakan komunikasi yang jujur dan tulus, segala prasangka buruk dapat diatasi.
b.      Kerja sama atau membentuk jaringan lintas batas untuk memperjuangkan kepentingan umum yang sebenarnya menjadi opsi bersama. Rasa senasib dan seperjuangkan dapat lebih akrab kita satu sama lain.

2.      Usaha-Usaha Membangun Budaya Kasih Sesudah Terjadi Konflik dan Kekerasan
Usaha membangun budaya kasih sesudah sesudah terjadi konflik dan kekerasan sering disebut “pengelolaan atau management konflik dan kekerasan”.
Management konflik dan kekerasan umumnya harus mengikuti tahap-tahap berikut ini :

a.       Langkah Pertama : KOnflik atau kekerasan perlu diceritakan kembali oleh yang menderita. Kekerasan bukanlah sesuatu yang abstrak atau impersonal melainkan personal, pribadi, maka perlu dikisahkan kembali. Upaya kita sering kali gagal karena kita memiliki titik tolak yang salah, yaitu anjuran agar orang melupakan semua masa lampau. Sikap ini melecehkan dan tidak menghormati para korban dan hal itu berarti mengingkari nilai manusia itu sendiri. Satu unsur penting dalam tahap ini adalah bahwa rekonsiliasi menuntut pengakuan kembali kebenaran, karena “kebenaran memerdekakan” (Yoh 8:32). Hal ini tidak mudah karena pengungkapan jujur sering dapat dihadapi dengan sungguh akan kembali menghantui kehidupan masa datang. Menceritakan kebenaran akan sangat membantu proses selanjutnya, yaitu mengakui kesalahan dan pengampunan.

b.      Langkah kedua: Mengakui kesalahan dan minta maaf serta penyesalan dari pihak atau kelompok yang melakukan kesalahan atau penyebab konflik kekerasan. Pengakuan ini harus dilakukan secara public dan terbuka, sebuah pengakuan yang jujur tanpa mekanisme bela diri. Pengakuan yang jujur harus menghindarkan sikap memanfaatkan diri atau hanya sekedar ungkapan rasa bersalah melulu, melainkan sebuah sikap ikhlas menerima diri sendiri dengan segala keterbatasannya. Termasuk dalam pengakuan salah dan minta maaf ini adalah kesalahan seperti curiga, pandangan salah, atau prasangka-prasangka terhadap kelompok lain sebagai akar masalah yang memicu konflik berdarah. Semua beban sejarah yang membelenggu seseorang atau harus dapat diungkapkan secara transparan. Dengan cara itu, kita dapat dibebaskan dan antara kita terjailah sebuah kiasah baru.
Tindakan meminta maaf adalah tindakan dua pihak dalam gerka menuju rekonsiliasi. Dalam pengakuan kesalahan, orang mengalami keterbatasannya. Pengalaman keterbatasan membuka kemungkinan bagi manusia untuk berharap dan menantikan petunjuk dan jalan keluar yang diberikan oleh pihak ketiga, pihak luar.

c.       Langkah ketiga: Pengampunan oleh korban kepada yang melakukan kekerasan. Kata pengampuanan dan rekonsiliasi akhir-akhir ini sering disalahtafsirkan. Mengampuni berarti melupakan atau jangan lagi mengungkit kesalahan masa lampau. Padahal justru sebaliknya: “ingatlah dan ampunilah”. Dalam rekonsiliasi itu, kita harus tahu apa yang harus kita ampuni dan siapa yang harus mendapat pengampunan.
Pengampunan adalah akibat logis dari tahap pertama dan kedua, yaitu sesudah kebenaran disingkapkan. Dan yang berhak memberi pengampunan adalah para korban kekerasan. Pengampunan berarti meninggalkan balas dendam terhadap pelaku kekerasan, membiarkan pergi dari segala beban dendam lawan pelaku. Pengampunan berkuasa menyembuhkan hubungan antarmanusia.
Pengampunan adalah mukjizat. Jika itu terjadi, maka hadirlah rekonsiliasi. Daya ampun berasal dari Allah dan pengampunan memberi ampun bertumbuh dari iman. Dalam pengampunan kita menolak dosa, tetapi tidak menolak pendosa. Mengampuni berarti berpartisipasi dalam sifat Allah sendiri (2 KOr 5:17-19).









d.      Langkah keempat: Rekonsiliasi. Gereja juga menyadari bahwa tidak ada jalan pintas menuju rekonsiliasi. Martabat para korban kekerasan, misalnya, tidak dapat dipulihkan hanya dengan sebuah permohonan maaf saja. Perdamaian murahan tidak akan tahan lama. Gereja juga sadar bahwa rekonsiliasi itu mahal. Para pelaku kejahatan butuh waktu unuk menerima diri sendiri dan para korban juga butuh waktu untuk menerima diri sendiri dan para korban juga butuh waktu untuk merangkul pelaku kejahatan dengan rasa kemanusiaan. Keadilan transformative perlu diberi waktu dan kesempatan .
Rekonsiliasi adalah pembaharuan.
Masa ini adalah saat berjuang agar para korban tidak menjadi pelaku kekerasan karena balas dendam. Menolak pengampunan berarti membelenggu diri di dalam masa lampau dan kita kehilangan diri sendiri. Martabat para korban ingin dipulihkan, namun tidak boleh tenggelam pada peristiwa masa lampau. Ada banyak warta, cerita Kitab Suci, menganai damai dan rekonsiliasi. Allah melakukan rekonsiliasi dengan manusia lewat sengsara dan kematian putraNya, Yesus Kristus. Maka cerita Yesus menyembuhkan dan cerita kita bermakna.