Wednesday, August 21, 2013

KEKERASAN DAN BUDAYA KASIH

KONFLIK DAN KEKERASAN DI TANAH AIR

Masyarakat Indonesia sangat mejemuk secara budaya, etnis dan agama. Kemajemukan ini dapat membawa konflik dan kekerasan. Konflik dan kekerasan banyak terjadi pada akhir abad XX dan pada awal abad XXI ini.Konflik mengakibatkan kerusuhan yang meningkat ke bentuk-bentuk kekerasan seperti: penjarahan, perkosaan, dan penghancuran atau pembakaran harta milik orang lain. Orang Indonesia yang pernah terkenal sebagai insane yang ramah, namun kini mudah sekali bertikai dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan pmbunuhan.
Kekerasan yang sedang berlangsung di negeri kita menunjukan rupa-rupa dimensi dan rupa-rupa wajah.


1. Rupa-Rupa Dimensi Kekerasan

a. Kekerasan Psikologis

Kita tidak boleh terbelenggu untuk mengerti kekerasan hanya dari segi fisik. Ada banyak kekerasan psikologis pada manusia. Tidak hanya pemukulan, cidera, dan pembunuhan yang menimbulkan penderita somatik manusia, melainkan juga kekerasan psikologis seperti kebohongan sistematis, indoktrinasi, terror-teror belaka, ancaman-ancaman langsung atau tidak langsung yang melahirkan ketakutan dan rasa tidak aman.

b.Kekerasan Lewat Imbalan

Seseorang dipengaruhi dengan memberikan imbalan. Orang yang mendapatkan imbalan mengalami kenikmatan atau euphoria. Akibatnya, orang tersebut tidak dapat vocal lagi, tidak boleh berbicara kritis. Taruhan mahal dimensi ini adalah kebebasan manusia. Ia terpaksa menjadi jinak. Ini juga satu bentuk kekerasan.


c.Kekerasan Tidak Langsung

Contoh kekerasan tidak langsung adalah melempar batu ke rumah orang dan uji coba bom/nuklir. Dalam prstiwa ini, tetap ada kekerasan fisik dan psikologis. Meski kelihatannya tidak makan korban, namun hal itu tetap membatasi tindakan manusia dan membawa ketakutan. Dalam dua aksi ini kelihatannya tidak ada objek langsung manusia, namun dampaknya luas bagi manusia secara fisik dan psikologis.

d. Kekerasan Tersamar

Suatu kekerasan disebut kekerasan biasanya jika ada pelakunya. Jika tidak ada pelaku, kekerasan itu disebut kekerasan tersamar atau kekerasan structural. Dalam kekerasan biasa, kita mudah melacak pelakunya sedangkan dalam kekerasan structural sulit ditemukan pelakunya. Hal ini sering juga dikenal dengan istilah “black power”. Kondisi kekerasan structural yang kita temukan sering juga digelar sebagai “ ketidakadilan sosial”.

a.Kekerasan yang tidak Disengaja
      Kekerasan itu sengaja atau tidak disengaja, tetap sebuah kekerasan bagi si korban. Karena itu, dari segi “korban”, misalnya mati atau cacat, maka kekerasan yang hanya dimengerti dari tolok ukur sengaja terlalu sempit dan melanggar rasa keadilan. Kekerasan yang tidak sengaja sering dihubungkan dengan kekerasan structural.




b.Kekerasan Tersembunyi (Laten)
      Kekerasan yang tempak, baik langsung maupun tidak langsung, mudah disimak dengan kasat mata. Namun, kekerasan yang tersembunyi dapat saja sewaktu-waktu meledak atau menunggu “bom waktu”. Contoh kekerasan dan kekejaman yang laten adalah sistem-sistem yang mengendalikan dan membelenggu kehidupan banyak orang seperti feodalisme, fundamentalisme, dan fanatisme.

2. Wajah-Wajah Kekerasan
Enam dimensi diatas ini dapat kita baca dalam skala frekuensi yang makin meningkat di Indonesia. Wajah-wajah kekerasan ini ternyata tidak hanya ditemukan di wilayah yang masuk dalam kategori “high conflict area” seperti aceh, Papua, Maluku, poso, dan ambon, melainkan juga ditemukan di wilayah-wilayah yang dikenal sebagai “ non conflict area” seperti Lampung. Kita sadara bahwa wilayah yang bebas konflik sangat terbatas dan agak sulit ditemukan. Konflik dan kekerasan benar-benar konteks riil di negeri kita.
a.     Kekerasan Sosial
      Kekerasan sosial adalah situasi diskrimatif yang mengucilkan sekelompok orang agar tanah atau harta milik mereka dapat dijarah dengan alasan “ Pembangunan Negara”. Payung pembangunan seperti sebuah tujuan yang boleh menghalalkan segala cara. Ada kelompok orang wilayah tertentu yang sepertinya tanpa mengusung mengusung “stigma” dari penguasa. Stigmasasi yang biasanya berlanjut dengan “marginalisasi” dan berujung pada “viktimasi”. Mereka yang mengusung “stigma” tertentu sepertinya layak ditertibkan, dibunuh, atau diperlakukan tidak manusiawi.
b.     Kekerasan Kultural
      Kekerasan cultural terjadi ketika ada pelecehan, penghancuran nilai-nilai budaya minoritas demi hegemoni penguasa. Kekerasan cultural sangat mengandaikan “stereotyp” dan “prasangka-prasangka cultural”. Dalam konteks ini, keseragaman dipaksakan, perbedaan harus dimusuhi, dan dilihat sebagai momok. Apa yang menjadi milik kebudayaan daerah tertentu dijadikan budaya nasional tanpa sebuah proses yang demokratis, dan budaya daerah lainnya dilecehkan.

c.      Kekerasan Etnis
      Kekerasan Etnis berupa pengusiran atau pembersihan sebuah etnis karena ada ketakutan menjadi bahaya atau ancaman kelompok tertentu. Suku tertentu dianggap tidak layak bahkan mencemari wilayah tertentu dengan berbagai alasan. Suku yang tidak disenangi harus hengkang dari tempat diam yang sudah menjadi miliknya bertahun-tahundan turun temurun.

d.     Kekerasan keagamaan
      Kekerasan keagamaan terjadi ketika ada “fanatisme, fundamentalisme, dan eksklusiveme” yang melihat agama lain sebagai musuh. Kekerasan atas nama agama ini umumnya dipicu oleh pandangan agama yang sempit atau absolute. Menganiaya atau membunuh penganut agama lain dianggap sebagai sebuah tugas luhur. Kekerasan atas nama agama sering berpijak pada gendering perang: “Allah harus dibela oleh manusia”.

e.      Kekerasan Gender
      kekerasan Gender adalah situasi di mana hak-hak perempuan dilecehkan. Budaya patriarkhi dihayati sebagai peluang untuk tidak atau kurang memperhitungkan peranan perempuan. Kultur pria atau buadaya maskulin sangat dominant dan kebangkitan wanita dianggap aneh dan mengada-ada. Perkosaan terhadap hak perempuan dilakukan secara terpola dan sistematis.


f.       Kekerasan Politik
      Kekerasan Politik adalah kekerasan yang terjadi dengan paradigma “politik adalah panglima”. Demokratisasi adalah sebuah proses seperti yang didektekan oleh penguasa. Ada ekonomi, menajemen, dan agama versi penguasa. Karena politik adalah panglima, maka paradigma politik harus diamankan lewat pendekatan keamanan. Semua yang berbicara vocal dan kritis harus dibungkam dengan segala cara termasuk dengan cara isolasi atau penjara. Tidak ada partai oposisi dan kalau ada partai itu tidak lebih hanya sebagai boneka. Delam konteks ini, “single majority” adalah sesuatu yang ideal, indokrinasi adalah sarana ampuh yang harus dilestarikan, sistem monopartai adalah kehendak Tuhan.

g.     Kekerasan Militer
      Kekerasan Militer berdampingan dengan kekerasan politik. Kekerasan terjadi karena militerisasi semua bidang kehidupan masyarakat. Cara pandang dan tata nilai militer merusak sistem sosial masyarakat. Dalam jenis kekerasan ini terjadi banyak sekali hal-hal seperti : pembredelan pers, larangan berkumpul, dan litsus sistematis. Pendekatan keamanan (security approach) sering diterapkan.

h.     Kekerasan terhadap Anak-Anak
      Anak-anak dibawah umur dipaksa bekerja dengan jaminan yang sangat rendah sebagai pekerja rumah. Prostitusi anak-anak tidak ditanggapi aneh karena dilihat sebagai sumber nafkah bagi keluarga. Dalam pendidikan, misalnya, masih merajalela idelogi-ideologi pendidikan yang fanatic. Konservatisme pendidikan dan fundamentalisme pendidikan tidak dicermati dan tidak dihindari sehingga anak tumbuh dan berkembang secara tidak sehat.

i.       Kekerasan Ekonomi
      Kekerasan ekonomi paling nyata ketika masyarakat yang sudah tidak berdaya secara ekonomis diperlakukan secara tidak manusiawi. Ekonomi pasar bebas dan bukannya pasar adil telah membawa kesengsaraan bagi rakyat miskin.

j.       Kekerasan Lingkungan Hidup
      Sebuah sikap dan tindakan yang melihat dunia dengan sebuah tafsiran eksploitatif. Bumi manusia tidak dilihat secara akrab dan demi kehidupan manusia itu sendiri.

3. Akar dari Konflik dan Kekerasan
     Analisis “teori konflik” menemukan alasan kekerasan pada berbagai bentuk “perbedaan kepentingan” kelompok-kelompok masyarakat sehingga kelompok yang satu ingin menguasai bahkan mencaplok kelompok lainnya. Analisis “fungsionalisme structural” berpendapat bahwa hampir semua kerusuhan berdarah di Indonesia disebabkan oleh disfungsi sejumlah institusi sosial, terutama lembaga politik. Dalam hal ini Negara gagal menerapkan sebuah politik yang menunjang integritas Indonesia sebagai satu bangsa.
      Fenomena seperti pecahnya otoritas pemerintah, buyarnya otoritas Negara, semakin intensifnya konfliks etnis dan agama, pengungsi yang berjumlah puluhan juta dan pembasmian etnis tertentu merupakan gejala-gejala yang mengancam integtitas bangsa. Mungkin  kesalahan yang paling besar yang dibuat pemerintah Indonesia sejak awal adalah menerima kesatuan Indonesia itu sebagai “taken for granted” sebagai barang yang sudah jadi. Padahal, kesatuan itu tidak dapat diolah secara paksa tetapi harus dibangun dengan bersama-sama.
      Kebijakan politis yang sentralis dimana pemerintah sangat dominant dan sering menyamankan dirinya dengan Negara, pola relasi “pusat-pinggiran” dalam segala nuassanya boleh dianggap sebagai akar konflik berdarah seperti di Aceh, Paapua, dan Sampit. Pusat menghendaki sentralisasi sedangkan daerah menuntut sebuah otonomi. Karena itu ada DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh dan penempatan banyak tentara di Irian jaya.




*        Yesus bukan saja mengajak kita untuk tidak menggunakan kekerasan menghadapi musuh-musuh, tetapi juga untuk mencintai musuh-musuh dengan tulus. Yesus mengajak kita untuk mengemnagkan budaya kasih dengan mencintai sesama, bahkan mencintai musuh (Luk 6 : 27 – 36).
*        Pesan Yesus untuk kita ini memang sangat radikal dan bertolak belakang dengan kebiasaan, kebudayaan, dan keyakinan gigi ganti gigi yang kini sedang berlaku. Kasih yang berdimensi keagamaan sungguh-sungguh melampaui kasih manusiawi. Kasih Kristiani tidak terbatas lingkungan keluarga karena hubungan darah; tidak terbatas pada lingkungan kekerabatan atau suku; tidak terbatas pada lingkungan daerah atau ideology atau agama. Kasih Kristiani menjangkau semua orang, sampai kepada musuh-musuh kita.
*        Dasar kasih Kristiani adalah keyakinan dan kepercayaan bahwa semua orang adalah putra dan putrid Bapa kita yang sama di surga. Dengan menghayati cinta yang demikian. Kita meniru cinta Bapa di surga, yang memberi terang matahari dan curah hujan kepada semua orang (baik orang baik maupun orang jahat).

*        Mengembangkan budaya kasih untuk melawan budaya kekerasan memang tidak mudah. Dalam kehidupan sehari-hari, kita merasa betapa sulitnya untuk berbuat baik dan mencintai orang yang membuat kita sakit hati.